Pertama, keberadaan lembaga survei pada dasarnya sangat penting sebagai elemen yang bisa menjadi indikator utama untuk mengukur kadar demokrasi sebuah negara, apakah kuat atau lemah. Dimana letak hubungannya?
Sistem demokrasi, pada hakikatnya adalah menuntut akan adanya kebebasan sipil secara mutlak di berbagai bidang, terutama di sektor menyatakan pendapat. Tanpa adanya kebebasan sipil dalam menyatakan pendapat, maka sebuah negara, meskipun menyandang sistem demokrasi, hanya akan menjadi pseudo-democracy [demokrasi palsu].
Salah satu cara mengukur kadar demokrasi pada suatu negara apakah hak sipil dalam menyatakan pendapat sudah ditempatkan pada posisi yang semestinya dan sudah terwadahi atau belum, salah satunya bisa dilihat dari adanya lembaga survei yang independen. Jika tidak ada sensor yang ketat terhadap lembaga survei dalam meneliti persepsi masyarakat dan dapat mempublikasikannya secara bebas oleh negara, maka kadar demokrasi sebuah negara dalam kondisi yang sangat baik. Saat ini, kondisi itu yang sedang kita nikmati. Itu sebabnya, demokrasi yang sudah baik ini perlu kita jaga. Sebelum era reformasi, baik pada Orde Lama maupun Orde Baru, keberadaan lembaga survei di Indonesia tidak begitu marak, atau bahkan nyaris tidak ada.
Kedua, selain sebagai instrumen untuk mengukur kadar demokrasi sebuah negara, kehadiran lembaga survei sejatinya sangat membantu para politisi [baca negara] untuk mengetahui informasi tentang persepsi, harapan dan evaluasi publik terhadap kondisi dan perkembangan sosial-politik yang sedang berlangsung. Dalam bahasa lain, lembaga survei bisa menjadi jembatan yang menghubungkan antara publik dengan negara, terkait penyampaian aspirasi. Posisi ini penting, karena dalam catatan sejarah kita, terutama pada zaman Orla dan Orba, ada jarak yang cukup jauh antara aspirasi publik dan kebijakan negara.
Itu sebabnya, lembaga survei dengan instrumen statistiknya yang dapat memotret opini masyarakat, memiliki sejumlah fungsi ideal bagi pertumbuhan demokrasi, antara lain;
Ketiga, kalau kita petakan ke dalam status aktor; pemerintah-industri-masyarakat, lembaga survei sejatinya memiliki kedudukan yang spesial. Meski produk yang dihasilkan mencerminkan opini masyarakat dan kerjanya berbasis scientific, namun ada kalanya tidak terlepas dari konflik kepentingan dengan dua aktor lainnya (negara dan industri).
Hal ini dilatarbelakangi oleh kondisi bahwa untuk melakukan penelitian, terkhusus di wilayah geografis seperti Indonesia, biayanya tidaklah murah. Itu sebabnya, dalam melakukan penelitian, lembaga survei terkadang sangat tergantung pada negara atau industri dalam sektor pembiayaan. Hal ini membuat lembaga survei “terkungkung” independensinya dalam melakukan proses sigi. Bahkan dalam beberapa kasus, ketergantungan ini membuat fungsi-fungsi ideal lembaga survei menjadi hilang sama sekali.
Dalam rangka mengatasi konflik kepentingan inilah, kami menggabungkan diri. Lembaga-lembaga survei yang nantinya ada dalam naungan ASPEPPI, akan kita jaga fungsi-fungsi idealnya, sekaligus tidak menghilangkan fungsi membantu negara dan industri dalam mengambil keputusan.
Untuk meminimalisasi konflik kepentingan lembaga survei, terkhusus untuk lembaga survei yang berada dalam naungan ASPEPPI, maka harus menaati prinsip-prinsip antara lain;
Dua prinsip ini harus menjadi pegangan agar lembaga survei benar-benar bisa menjadi lembaga yang makin memapankan arah demokrasi kita, yakni bisa menjadi penghubung antara imajinasi masyarakat dan kebijakan pemerintah.